Menulis pesan terakhir memang harus bagus, karena hanya pesan terakhir akan selalu dikenang bagi beberapa orang yang kenal padaku, mungkin. Dan bisa saja setiap misteri atau rahasia yang kebanyakan orang tanyakan kepada aku harus segera dijawab. Aku tidak ingin kepergiannku ini menyisakan banyak pertanyaan, seperti kenapa aku mati, mungkin aku di bunuh, siapa yang membuat saya seperti ini. Saya tidak inign orang yang saya cintai dibuat resah atas setiap pertanyaan atas segala misteri yang aku tinggalkan.
Secangkir teh manis memang sudah seperti nama tengahku, selalu menemani disaat apapun, terutama saat aku menulis. Menulis apa saja, puisi untuk seorang wanita yang entah dimana, cerpen untuk mengulang semua kejadian, ataupun sebuah surat teror untuk seseorang yang sangat ku benci.
Sekarang aku terkenang pada sebuah malam, aku yakin kau pasti juga mengingatnya. Saat sebuah kesialan untuk menyaksikan sesuatu terjadi. Akhirnya kita duduk diantara beberapa teman. Memang kau dan aku tidak berdua saja, malah tidak berbicara sama sekali.
“malam ini tidak ada bintang ya?”
Kau terdiam di bawah redup lampu malam
“tentu saja, si pemburu bintang sudah memburunya sampai habis, dan telah di masukan kedalam toples. Seperti kunang-kunang kalo kamu melihatnya.” Lalu aku tertawa. Merubah sebuah wacana dari konteks kejujuran menjadi sebuah gurauan.
Kau memasang wajah cemburutmu, aku sangat menyukai rautmu itu, mengingatkan ku pada seorang bocah yang tidak berhasil meminta sebuah balon gas berwarna merah kepada ibunya. Kamu seperti bocah, aku merasa seperti pendopil saat jatuh cinta padamu, temanku juga menyindir seperti itu.
Saat yang menyenangkan adalah bersamamu, dan tidak ada yang boleh membantah tentang itu.
Ku tulis surat ini di sebuah taman, di dekat rumah temanku, disini tidak ada atap, sehingga tidak ada yang menghalangi kecemburuanku terhadap benda yang selalu bersinar ketika malam terjaga. Aku cemburu pada benda tanpa nyawa itu. Karena dia bersinar, sementara aku yang memiliki nyawa tidak pernah bersinarl, bahkan memiliki cahaya saja tidak.
Akhirnya aku menyerah untuk meneruskan surat ini, aku binggung ingin mengungakpkan apa selain rasa cintaku yang sangat besar dan juga rasa cemburuku. Mungkin salah satu yang menyebabkan aku menyerah dari segala hal karena kegagalanku untuk mengubah hatimu yang selalu mendambahkan benda bersinar itu. Padahal aku sudah memburunya dan telah ku kekang dalam toples, dan seperti kunang-kunang mereka. Sudah lah sudah cukup menulis surat yang akan selalu membuat ku gundah. aku sudah menyerah, aku memang telalu lemah, telalu bodoh.
Sudah saya ingin menyelasikan surat ini, bersama sisa teh yang belum sempat ku habiskan, dan beberapa semut sudah mulai datang untuk sebuah pesta minum teh tanpa aku sadari telah tercipta pestanya.
“akhirnya aku sudah mati”
semoga surat ini bisa menjawab segala pertanyaan, atau mungkin bisa memunculkan pertanyaan baru.. ah tapi siapa aku. Aku bukan orang yang besar dan berpengaruh. Tapi seandainya saya berkesan dan muncul beberapa pertanyaan, tolong jangan tanyakan pada orang yang paling saya cintai. Dan tolong bebaskan semua bintang yang sudah menjadi buruanku. Kalo tidak salah toplesnya aku sembunyikan di dalam sebuah kotak yang ku kubur di antara ilalang di belakang perkarangan rumah kita.
Kayu jati
22 maret 2010
Secangkir teh manis memang sudah seperti nama tengahku, selalu menemani disaat apapun, terutama saat aku menulis. Menulis apa saja, puisi untuk seorang wanita yang entah dimana, cerpen untuk mengulang semua kejadian, ataupun sebuah surat teror untuk seseorang yang sangat ku benci.
Sekarang aku terkenang pada sebuah malam, aku yakin kau pasti juga mengingatnya. Saat sebuah kesialan untuk menyaksikan sesuatu terjadi. Akhirnya kita duduk diantara beberapa teman. Memang kau dan aku tidak berdua saja, malah tidak berbicara sama sekali.
“malam ini tidak ada bintang ya?”
Kau terdiam di bawah redup lampu malam
“tentu saja, si pemburu bintang sudah memburunya sampai habis, dan telah di masukan kedalam toples. Seperti kunang-kunang kalo kamu melihatnya.” Lalu aku tertawa. Merubah sebuah wacana dari konteks kejujuran menjadi sebuah gurauan.
Kau memasang wajah cemburutmu, aku sangat menyukai rautmu itu, mengingatkan ku pada seorang bocah yang tidak berhasil meminta sebuah balon gas berwarna merah kepada ibunya. Kamu seperti bocah, aku merasa seperti pendopil saat jatuh cinta padamu, temanku juga menyindir seperti itu.
Saat yang menyenangkan adalah bersamamu, dan tidak ada yang boleh membantah tentang itu.
Ku tulis surat ini di sebuah taman, di dekat rumah temanku, disini tidak ada atap, sehingga tidak ada yang menghalangi kecemburuanku terhadap benda yang selalu bersinar ketika malam terjaga. Aku cemburu pada benda tanpa nyawa itu. Karena dia bersinar, sementara aku yang memiliki nyawa tidak pernah bersinarl, bahkan memiliki cahaya saja tidak.
Akhirnya aku menyerah untuk meneruskan surat ini, aku binggung ingin mengungakpkan apa selain rasa cintaku yang sangat besar dan juga rasa cemburuku. Mungkin salah satu yang menyebabkan aku menyerah dari segala hal karena kegagalanku untuk mengubah hatimu yang selalu mendambahkan benda bersinar itu. Padahal aku sudah memburunya dan telah ku kekang dalam toples, dan seperti kunang-kunang mereka. Sudah lah sudah cukup menulis surat yang akan selalu membuat ku gundah. aku sudah menyerah, aku memang telalu lemah, telalu bodoh.
Sudah saya ingin menyelasikan surat ini, bersama sisa teh yang belum sempat ku habiskan, dan beberapa semut sudah mulai datang untuk sebuah pesta minum teh tanpa aku sadari telah tercipta pestanya.
“akhirnya aku sudah mati”
semoga surat ini bisa menjawab segala pertanyaan, atau mungkin bisa memunculkan pertanyaan baru.. ah tapi siapa aku. Aku bukan orang yang besar dan berpengaruh. Tapi seandainya saya berkesan dan muncul beberapa pertanyaan, tolong jangan tanyakan pada orang yang paling saya cintai. Dan tolong bebaskan semua bintang yang sudah menjadi buruanku. Kalo tidak salah toplesnya aku sembunyikan di dalam sebuah kotak yang ku kubur di antara ilalang di belakang perkarangan rumah kita.
Kayu jati
22 maret 2010
Comments
Post a Comment