seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti #4
by Watip Ihcijo on Sunday, 19 December 2010 at 10:06
Beberapa merpati yang tadi kita lepas bertenger di pohon itu. Menunggu, dan menyaksikan dengan sangat ihklas di saat aku benar-benar kebingungan. Langit cerah, awan berarak dengan santai, matahari tidak ada keinginan untuk menyusutkan cahaya.
Daritadi aku hanya bisa menganguk pada setiap orang yang datang dan mengucapkan selamat dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Tidak lupa senyum selebar mungkin saat mereka mengatakan hal-hal yang panjang. Kau angun dengan balutan warna merah. Aku tahu kau sangat menyukai warna kuning, tapi entah kenapa aura kecantikanmu keluar saat kau menggunakan warna merah sebagai warna pakaianmu.
Kuning, terkadang aku selalu mengingat matahari yang saat di sekolah dasar dulu selalu ku gambar, atau saat aku dan teman-teman sekolah dasarku yang berjumlah 18 orang sama-sama mengupas biji bunga matahari. Matahari berwarna kuning. Penuh keriangan, semangat yang tinggi.
Tapi, apa salahnya juga dengan warna merah. Kau pun juga tidak pernah terlihat kesal dengan warna merah yang selalu saja membalut tubuhmu—walau Aku jadi iri pada warna merah. Merah warna mawar yang pernah aku berikan padamu, warna senja saat pertama kali kita bertemu, dan warna merah yang ada di bibirmu saat itu.
Udara makin memanas. Orang tuamu tersenyum bahagia. Tapi apakah kelak kita bahagia? Masalah pekerjaanmu aku yakin sudah memiliki uang yang banyak. Tapi masalahnya aku, aku masih saja pengangguran. Aku bisa saja menjadi seorang penulis puisi yang selalu berharap mendapat uang dari media cetak jika puisi dipakai. Itupun sedikit, dan harus bertarung melawan puisi yang banyak. Yang aku bisa lakukan hanya menulis saja.
Tapi entah kenapa sejak kecil aku memiliki impian menjadi seorang penjual takoyaki. Aku selalu melihat para penjual itu tersenyum bahagia saat memasak dan memberikan takoyaki itu kepada pembeli. Itu bukan sebuah acting karena di depan kamera, kau tahu dan pasti bisa membedakan senyum tulus dan senyum yang hanya mencari perhatiaan bukan? Lantas apakah senyumku padamu ini tulus? Hanya kau tahu tentang hal itu.
Jalan-jalan kecil sudah penuh dengan lumpur dan liat. Celana dan sepatu para tamu sudah kotor lewat jalan itu. Kita masih berdiri, menyambut banyak orang yang datang. Aku tidak menyangka jika kau mengundang orang sebanyak ini. Apakah makanan untuk para tamu cukup?
Malam ini kita akan menjalin cinta. Besok kita akan terbangun pada ranjang yang sama. Dan lusa kita akan menikmati indahnya cahaya bersama. Dan beberapa bulan kemudian, aku berharap kita akan sedikit bertengkar perihal nama untuk anak kita nanti.
Kita memulai kata sihir, lalu segala keajaiban tercipta. Aku ingin selalu mencintaimu. Menanam bunga mawar di perkarangan rumah. Memakan semua hasil karyamu dalam bentuk masakan. Aku ingin memberikan kesetiaan sepenuhnya untukmu. Mungkin.
Suara harmonica dari sahabatmu berambut pirang itu mulai terdengar. Aku suka saat dia bermain harmonica. Apakah kau ingin bernyanyi? Aku hanya melihat wajahmu yang daritadi menatap sebuah micropon. Aku pun pergi dari tempat ini lalu mengambil mic itu untukmu. Kau bernyanyi juga. Bernyanyi yang tidak aku mengerti bahasanya.
Aku mengenal lagu ini. Hotaru no hikari. Kunang-kunang. Aku yakin suatu saat akan mendapatkanmu. Lagu yang menjadi original soundtrack dari film naruto. Film ninja yang penuh dengan retotika.
Lonceng berbunyi, burung-burung gereja hinggap di puncak cemara. Angin berhembus kencang. Dedaunan berguguran. Aku menebak jika nanti si kakek penyapu daun akan senang menyapu sambil bersiul-siul, sesekali menatap langit. Mungkin besok aku akan ke tempat ini kembali, menyaksikan apa yang akan dilakukan kakek tua itu.
19 December 2010 at 10:06
Comments
Post a Comment