Tidak aku sangka, perasaanku padamu sudah seperti cairan infus yang dimasukan melalui jarum yang sudah ditembuskan di tangan kananku. Aku hanya bisa terbaring lemas, dan mencoba bertahan hanya dengan cairan yang sampai sekarang tidak aku tahu kandungannya itu.
Parahnya lagi, setiap suster yang lewat, yang selalu memakai pakaian berwarna putih selalu saja aku anggap kau. Kerinduanku sudah seperti kerinduan seorang musafir yang sangat ingin bertemu dengan air saat dia berada di tengah-tengah gurun yang luas, yang tidak ia ketahui ujungnya. Kerinduan yang telah menjadi fatamorgana yang telah mengubah lembah gurun menjadi oasis, dan kenyataan mata telah dirabunkan olehnya.
Aku masih tertidur di kamarku yang sempit. Memperhatikan setiap gerakan jarum jam dindingku yang sudah bosan untuk aku saksikan. Lagu hanabi dari ikimono gakari pun mengalun lembut di kamar ini. Hanabi yang dalam bahasa Indonesia berarti kembang api, yang bercerita tentang seseorang yang memiliki perasaan dan ingin mengungkapkannya di tengah festival kembang api berlangsung. Langit malam menjadi biru.
Aku jadi teringat kembang api yang pernah aku berikan pada seorang anak kecil yang selalu bermimpi untuk menyalakan seribu kembang api secara bersama-sama hingga di langit tertulis namanya, dan tiba-tiba hadir sebuah keinginan untuk bermain kembang api di dalam kamar yang hanya beberapa petak saja luasnya ini.
Perasaan ini semakin merasuk saja, aku pun mengambil secangkir teh manis yang sudah dari tadi ada di atas meja berwarna coklat di samping tempat tidurku ini. Ku habiskan dengan perlahan, menikmati setiap butiran cristal tebu yang telah larut di dalamnya. Setelah menghabiskan, malah perasaan ini semakin besar saja, karena teh manis ini mengingatkan aku dengan senyummu yang selalu kau hadirkan di setiap pertemuan kita, dan tidak bisa kutampikan indahnya.
Pada akhirnya aku meminum air putih juga, yang sudah ada sejak kemarin di meja yang sama pula. Air mineral dalam kemasan satu setengah liter, kemasan yang biasa aku beli saat berlatih teater bersama yang lain saat senja, saat jam kuliah berakhir. Ku teguk dengan perlahan, seolah menikmati setiap molekul-molekul yang tersimpan secara rahasia. Lagi-lagi aku jadi teringat dengan kau, kejernian raut yang sama seperti air mineral yang katanya langsung dikemas dari mata air di pengunungan gunung salak.
Ah, kau benar-benar menjelma menjadi apapun, yang dapat ditangkap oleh semua inderaku, bahkan lidahku. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk munafik, dan mengatakan jika aku tidak menyukaimu. Tapi tetap saja tidak bisa.
Aku pun terbangun dari tempat tidur ini. Mondar-mandir sambil memengang kepalaku, dan mengacak-ngacak rambutku yang sejak kemarin belum aku basuh dengan sampo. Aku berpikir bagaimana aku meluapkan segala kerinduan yang sejak dulu ini selalu menyuruhku untuk mengatakan perasaanku padamu. Perasaan yang sudah ada dalam semangkok soto ayam yang teman-temanmu berikan jam setengah dua malam sewaktu aku menginap di sekolahmu dulu. Aku pun jadi seolah menuduh teman-temanmu yang memberikan makanan itu. Makanan yang ku kagumi perjuangan saat mendapatkannya. Karena, bagaimana bisa mendapatkan soto ayam pada jam setengah dua pagi.
Setelah itu, siangnya teman-temanmu pun menawarkan banyak coklat dengan tangkai yang menjaga coklat itu untuk utuh. Apa benar dugaanku, jika teman-temanmu lah yang membuat aku untuk pertama kalinya menyukaimu. Ah, ini bukan tuduan semata, sudah ada dua bukti. Tapi walaupun tuduan itu benar, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku pun tertidur di tempat tidurku. Karena memang aku tidak bisa melakukan apapun dengan kondisiku yang lemah ini, bahkan mungkin aku akan kalah bertarung dan jatuh jika melawan angin pantai dalam kondisi seperti ini. Aku terlalu lemah, aku terlalu lemah.
Aku pun tanpa sadar memperhatikan sepasang cicak yang sedang akan bercinta. Kau pasti tahu, semua mahluk hidup akan melakukan sebuah ritual dahulu sebelum bercinta, bahkan tumbuhan seolah akan menari-nari dengan angin saat dia akan bercinta lewat kuncup-kuncup bunga yang akan mekar. Begitu pun dengan cicak ini, dari tadi berbunyi, seolah sedang berpuisi sehingga betina pun jatuh hatinya pada setiap kata yang tidak aku mengerti artinya.
Kamar ini benar-benar sepi, hanya beberapa celoteh binatang yang tidak kunjung habisnya, hanya ada percikan air dari keran yang lupa aku tutup dengan rapat. Di luar jendela, hanya ada seorang penyapu yang sedang menyapu daun dengan sabar. Dia memang terkadang suka sekali digoda oleh dedaunan sekitarnya.
Ah, sudah saya hentikan saja semua ini. Intinya perasaanku padamu adalah cairan infuse, adalah suster yang terkadang lewat, adalah keinginanku untuk bermain kembang api, adalah candu yang menyebar dalam darah.
Lantas, apa yang bisa aku lakukan saat aku tidak sempat mengatakan semua perasaanku padamu. Karena tulisan ini hanya sebatas kamar putih yang sangat menyebalkan.
Bekasi, 15 Oktober 2010
Parahnya lagi, setiap suster yang lewat, yang selalu memakai pakaian berwarna putih selalu saja aku anggap kau. Kerinduanku sudah seperti kerinduan seorang musafir yang sangat ingin bertemu dengan air saat dia berada di tengah-tengah gurun yang luas, yang tidak ia ketahui ujungnya. Kerinduan yang telah menjadi fatamorgana yang telah mengubah lembah gurun menjadi oasis, dan kenyataan mata telah dirabunkan olehnya.
Aku masih tertidur di kamarku yang sempit. Memperhatikan setiap gerakan jarum jam dindingku yang sudah bosan untuk aku saksikan. Lagu hanabi dari ikimono gakari pun mengalun lembut di kamar ini. Hanabi yang dalam bahasa Indonesia berarti kembang api, yang bercerita tentang seseorang yang memiliki perasaan dan ingin mengungkapkannya di tengah festival kembang api berlangsung. Langit malam menjadi biru.
Aku jadi teringat kembang api yang pernah aku berikan pada seorang anak kecil yang selalu bermimpi untuk menyalakan seribu kembang api secara bersama-sama hingga di langit tertulis namanya, dan tiba-tiba hadir sebuah keinginan untuk bermain kembang api di dalam kamar yang hanya beberapa petak saja luasnya ini.
Perasaan ini semakin merasuk saja, aku pun mengambil secangkir teh manis yang sudah dari tadi ada di atas meja berwarna coklat di samping tempat tidurku ini. Ku habiskan dengan perlahan, menikmati setiap butiran cristal tebu yang telah larut di dalamnya. Setelah menghabiskan, malah perasaan ini semakin besar saja, karena teh manis ini mengingatkan aku dengan senyummu yang selalu kau hadirkan di setiap pertemuan kita, dan tidak bisa kutampikan indahnya.
Pada akhirnya aku meminum air putih juga, yang sudah ada sejak kemarin di meja yang sama pula. Air mineral dalam kemasan satu setengah liter, kemasan yang biasa aku beli saat berlatih teater bersama yang lain saat senja, saat jam kuliah berakhir. Ku teguk dengan perlahan, seolah menikmati setiap molekul-molekul yang tersimpan secara rahasia. Lagi-lagi aku jadi teringat dengan kau, kejernian raut yang sama seperti air mineral yang katanya langsung dikemas dari mata air di pengunungan gunung salak.
Ah, kau benar-benar menjelma menjadi apapun, yang dapat ditangkap oleh semua inderaku, bahkan lidahku. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk munafik, dan mengatakan jika aku tidak menyukaimu. Tapi tetap saja tidak bisa.
Aku pun terbangun dari tempat tidur ini. Mondar-mandir sambil memengang kepalaku, dan mengacak-ngacak rambutku yang sejak kemarin belum aku basuh dengan sampo. Aku berpikir bagaimana aku meluapkan segala kerinduan yang sejak dulu ini selalu menyuruhku untuk mengatakan perasaanku padamu. Perasaan yang sudah ada dalam semangkok soto ayam yang teman-temanmu berikan jam setengah dua malam sewaktu aku menginap di sekolahmu dulu. Aku pun jadi seolah menuduh teman-temanmu yang memberikan makanan itu. Makanan yang ku kagumi perjuangan saat mendapatkannya. Karena, bagaimana bisa mendapatkan soto ayam pada jam setengah dua pagi.
Setelah itu, siangnya teman-temanmu pun menawarkan banyak coklat dengan tangkai yang menjaga coklat itu untuk utuh. Apa benar dugaanku, jika teman-temanmu lah yang membuat aku untuk pertama kalinya menyukaimu. Ah, ini bukan tuduan semata, sudah ada dua bukti. Tapi walaupun tuduan itu benar, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku pun tertidur di tempat tidurku. Karena memang aku tidak bisa melakukan apapun dengan kondisiku yang lemah ini, bahkan mungkin aku akan kalah bertarung dan jatuh jika melawan angin pantai dalam kondisi seperti ini. Aku terlalu lemah, aku terlalu lemah.
Aku pun tanpa sadar memperhatikan sepasang cicak yang sedang akan bercinta. Kau pasti tahu, semua mahluk hidup akan melakukan sebuah ritual dahulu sebelum bercinta, bahkan tumbuhan seolah akan menari-nari dengan angin saat dia akan bercinta lewat kuncup-kuncup bunga yang akan mekar. Begitu pun dengan cicak ini, dari tadi berbunyi, seolah sedang berpuisi sehingga betina pun jatuh hatinya pada setiap kata yang tidak aku mengerti artinya.
Kamar ini benar-benar sepi, hanya beberapa celoteh binatang yang tidak kunjung habisnya, hanya ada percikan air dari keran yang lupa aku tutup dengan rapat. Di luar jendela, hanya ada seorang penyapu yang sedang menyapu daun dengan sabar. Dia memang terkadang suka sekali digoda oleh dedaunan sekitarnya.
Ah, sudah saya hentikan saja semua ini. Intinya perasaanku padamu adalah cairan infuse, adalah suster yang terkadang lewat, adalah keinginanku untuk bermain kembang api, adalah candu yang menyebar dalam darah.
Lantas, apa yang bisa aku lakukan saat aku tidak sempat mengatakan semua perasaanku padamu. Karena tulisan ini hanya sebatas kamar putih yang sangat menyebalkan.
Bekasi, 15 Oktober 2010
Comments
Post a Comment