Kita akan bertemu. Membahas perasaan yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini? Di tempat makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak seksi dengan kemacetan jam pulang, pejalan kaki yang lalu lalang sehabis turun dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang badut kesepian dengan kostum winnie the pooh. Semantara di langit, matahari melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih kuliah. Aku menunggumu di sini sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh tarik yang rasanya hambar. Aku menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin. Tangan dan kakiku pun ikut dingin. “Sudah sampai mana?”
Malam musim hujan di bulan Desember, Watip meminta saya ke kontrakan, dia ingin memberikan kepada saya Museum Hujan, buku kumpulan puisinya yang baru lahir. Suatu kehormatan buat saya karena menjadi salah satu dari sedikit orang yang menerima buku puisi tersebut langsung dari penulisnya. Sekaligus suatu kegembiraan karena mungkin telah lahir generasi kedua penyair Bengkel Sastra UNJ pasca Ferdi Firdaus. Anjaaaass. Sepintas membayangkan Museum Hujan, terbesit dalam kepala saya tentang bangunan tua, meski begitu senyap, di dalamnya penuh dengan hiruk pikuk kejayaan masa lalu. Watip menuliskan lalu menyajikannya pada diorama-diorama , tentang hujan dan kenangan yang telah purba. Dilihat orang, diraba, dinikmati, membosankan, lalu ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Meski demikian, di sana puisinya tetap suci dan abadi sebagai artefak yang menyimpan segala kenangan. Menerima buku puisi buat saya seperti menerima kitab suci, hanya saja Watip di luar 25 nabi yang waj