Skip to main content

Posts

Pertemuan

                Kita akan bertemu. Membahas perasaan yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini? Di tempat makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak seksi dengan kemacetan jam pulang, pejalan kaki yang lalu lalang sehabis turun dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang badut kesepian dengan kostum winnie the pooh. Semantara di langit, matahari melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih kuliah. Aku menunggumu di sini sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh tarik yang rasanya hambar.                 Aku menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin. Tangan dan kakiku pun ikut dingin.                 “Sudah sampai mana?”         
Recent posts

Komentar Ahmad Ibo untuk Museum Hujan

Malam musim hujan di bulan Desember, Watip meminta saya ke kontrakan, dia ingin memberikan kepada saya Museum Hujan, buku kumpulan puisinya yang baru lahir. Suatu kehormatan buat saya karena menjadi salah satu dari sedikit orang yang menerima buku puisi tersebut langsung dari penulisnya. Sekaligus suatu kegembiraan karena mungkin telah lahir generasi kedua penyair Bengkel Sastra UNJ pasca Ferdi Firdaus. Anjaaaass. Sepintas membayangkan Museum Hujan, terbesit dalam kepala saya tentang bangunan tua, meski begitu senyap, di dalamnya penuh dengan hiruk pikuk kejayaan masa lalu. Watip menuliskan lalu menyajikannya pada diorama-diorama , tentang hujan dan kenangan yang telah purba. Dilihat orang, diraba, dinikmati, membosankan, lalu ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Meski demikian, di sana puisinya tetap suci dan abadi sebagai artefak yang menyimpan segala kenangan. Menerima buku puisi buat saya seperti menerima kitab suci, hanya saja Watip di luar 25 nabi yang waj

Komentar Hamzah Gozi

Sebagian besar puisi Museum Hujan merefleksikan perasaan tabah seorang pecinta yang berhati lembut. Ialah sosok berprasangka positif –merenungi masa lalu tak sebatas penyesalan. Kadang terdapat kesedihan yang sungguh ngilu, tetapi dialihkan langsung kepada harapan yang belum pasti perwujudannya. Dengan apa? Penyair membantahnya dengan pertanyaan –semacam sanggahan mungkin. Melalui puisi “Kenangan”, penyair ingin berlurus-pikir atas ingatan, atau dalam puisi “Mendadak”, yang c oba menghibur: karena ada perasaan yang mesti terjaga karena ada hati yang tak boleh retak. Namun, ketika puisi seolah tak menjawab apa-apa, penyair memilih diam. Sebab, diam yang demikian itu juga berarti membiarkan khayalan terasa benar-benar ada, dan terus berkembang. Lantas, tak heran apabila puisi “Pada Bait Ketiga” ia pun gundah karena usahanya menggapai cintanya begitu sia-sia belaka. Di sinilah letak kesimpang-siuaran, penyair tidak bisa menghentikan imajinasi, tatkala kenyataan tidak berp

Kesal

Pria itu kesal bukan main pada rekan kerjannya. Namannya Ani, seorang wanita berkacamata, rambut hitam mengapai-gapai bahu, dengan blezer merah gelap, atau kemeja bergaris hitam. Sepatu berhak 5-7 cm, seorang yang bekerja di tim HRD. Setiap pagi, atau pulang pria itu selalu menemuinya, karena absen dengan sidik jari ada di depan ruangannya. Jika pintunya terbuka, ia akan melihat wanita itu sedang mengurus dokumen-dokumen yang bertumpuk di meja juga lemari, atau sedang berkuta t pada komputer jinjing. Jika pintu itu tertutup maka ia bersyukur luar biasa. Pria itu kesal bukan main, karena baginya wanita itu seperti rembulan. Rembulan yang pertama kali dilihat hanya sebuah benda yang tergantung di langit. Namun semakin dilihat semakin memesona. Sialnya pria itu merasa dirinya seekor serigala. Hanya bisa memandangnya, melihatnya dari ujung tebing atau bukit, atau rimbun dedaunan hutan. Ia hanya dapat meraung tajam karena tidak sekalipun dapat mengapainya. meraung lirih ten

Desember

Tiga anak kecil datang padamu di bethelem Mengantar hadiah di akhir desember sebelum salju tambah tebal dan jalan sulit dijelajah Kawanan anak yang lebih kecil datang padamu Mengantar keluhan dosa sebelum desember tiba Sebelum matahari lebih lekat dengan kulit dan telapak perih mencumbu aspal kau tersipu karenanya walau jelas keduanya berbeda

Mengenang Mantan Pacar

Mengenang mantan pacar Semenjak pagi tadi dia berpikir untuk menikah. Sebenarnya pikiran itu sudah ada setahun yang lalu, hanya saja ia anggap sebagai kelakar yang begitu serius, atau keseriusan yang begitu kelakar. Ia kemudian melaju dengan sepeda motor menuju menteng dari bekasi. Sepanjang jalan raya bekasi ia pun memikirkan kelakarnya yang begitu serius itu.                 Ketika pekerjaannya hanya menghasilkan enam ratus ribu rupiah sebulan, ia pun mengatakan kelakar atau keseriusannya tersebut. Ingin menikah tapi tidak mempunyai 2 hal yang paling penting agar hal tersebut terjadi, yaitu uang dan calonnya. Ia pun suka tertawa pada keseriusannya tersebut, dan suka serius saat ada temannya yang menertawakan kebodohannya yang bukan main itu.                 Kini pekerjaannya sudah membaik. Bisa bayar kontrakan, bantu bayar tagihan listrik, air dan internet rumahnya. Biaya hidup terpenuhi, tinggal menabung, dan mengejar hal yangdiinginkan sejak lama. Ia ingin sekali membel

Cipinang 2

Bu, Malam ini ia serba berbaju ungu, dengan kacamata seharga dua puluh ribu Namanya kemala, berumur sembilan belasan berasal dari desa, mengadu nasib di jakarta lapak sederhana, sebuah lubang sebesar orang dewasa antara tembok pemisah jalanan dan rel kereta cahaya remang, purnama jadi lampu bohlam tidak jarang kereta lewat saat dia layani pelanggan membuat tubuh bergetar karena hanya tipis berjarak atau suara klakson kendaraan, atau polisi melintas namanya kemala, malam itu kita menjelma binatang sepasang anjing di pinggir kereta, menikmati bersama ranum rembulan namanya kemala, ia lepaskan kacamatanya agar dunia ini jadi berbayang dan tetap berbayang Sep 13 ·