Hujan datang dari langit dan mendadak iseng mengetuk jendela kamarmu di lantai dua. Kau belum menutup gorden, jadi suaranya masih sangat jernih dan seolah memangil untuk keluar dari rumah, dan main hujan-hujanan di perkarangan rumahmu. Paling-paling kau akan kena marah dari orang tuamu karena menambah sudah membuat kotor pakaianmu dan membuat mereka khawatir akan sakit yang mungkin besok akan menjengukmu.
Dan kau memilih untuk keluar juga, tidak peduli pada akibat setelanya. Menurutmu bermain dengan ciptaan tuhan yang paling jernih seolah memberikan damai tersendiri. Kau pun menari, entah apa tariannya. Kau biarkan tubuhmu bergerak dengan iringan nada dari hujan, kau tampak menciptakan hujan seperti pangeran dan berdansa denganmu. Becek pada rumput menjadi karpet, beberapa cahaya matahari dan lampu jalan menjadi lilin yang terjaga.
"Aku senang, terima kasih." ucapmu
Mendadak ada yang memelukmu dari belakang. Lalu kau rasakan kehangatan yang pernah kau impikan waktu kecil, waktu kau masih terlanjur asik menjalin angan dan mimpi. Tapi tidak ada orang setelah kau menengok kebelakang, tapi ada bisik dan hujan kali ini mendadak menjadi hangat. Kau tersenyum, dan kau pikir dia adalah seorang malaikat yang menjelma hujan, atau doa darinya. Dari seseorang yang selalu mengirim doa pada hujan untuk selalu menjagamu. Kau jadi teringat padanya, padahal hanya beberapa kali saja kau bertemu dengannya dan bertegur sapa. Mungkin baru dua kali saja. Dia selalu memangilmu martabak, Karena kau sangat menyukai martabak manis keju.
Kemudian kau sudahi permainan ini. Kau masuk diam-diam agar tidak ada yang tahu akan kejadian barusan. Lalu kau masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Mendadak kau agak ragu, apakah harus menghilangkan rasa hangat yang tadi menempel pada tubuh atau tidak. Kemudian kau berjalan ke depan kaca di dalam kamar mandi itu. Kau melihat dirimu sendiri, ada senyum lebar yang tidak bisa kamu kendalikan.
Kemudian kau memilih untuk membersihkan tubuhmu, tapi kenangan tadi kau ingat terus. Setelah mandi, kau tidak langsung ke kamar, atau menyeduh teh hangat atau cokelat panas di dapur. Kau memilih sesaat di kamar mandi. Bercerita sedikit pada sudut kamar mandi yang sering kau ajak bicara sejak kecil. Dia sangat pandai menjaga rahasia sehingga, kau sangat mempercayainya.
Kau berpikir akan menceritakannya juga pada dinding kamar yang sama setianya mendengar setiap ceritamu dan menjaganya dengan hebat. Setelah kau masukan baju kotormu ke mesin cuci, kau langsung pergi ke kamar, menganti pakaian dan mencoba melihat apakah senyum itu masih ada di bibir itu. Sebelum kau menceritakan pada dinding kamar, kau teringat kembali kejadian barusan. Kau pikir jika kehangatan barusan adalah pangeran yang menjelma hujan. Hangat, sangat hangat. Agak mustahil memang hujan menjadi hangat, belum lagi ditambah angin yang datang, tidak terlalu kencan memang, tapi setidaknya itu bisa membuat tubuh menjadi gigil.
"Besok apakah dia akan datang lagi?" Bisikmu, sementara di balik jendela hujan telah menjelma gerimis tipis.
Dan kau memilih untuk keluar juga, tidak peduli pada akibat setelanya. Menurutmu bermain dengan ciptaan tuhan yang paling jernih seolah memberikan damai tersendiri. Kau pun menari, entah apa tariannya. Kau biarkan tubuhmu bergerak dengan iringan nada dari hujan, kau tampak menciptakan hujan seperti pangeran dan berdansa denganmu. Becek pada rumput menjadi karpet, beberapa cahaya matahari dan lampu jalan menjadi lilin yang terjaga.
"Aku senang, terima kasih." ucapmu
Mendadak ada yang memelukmu dari belakang. Lalu kau rasakan kehangatan yang pernah kau impikan waktu kecil, waktu kau masih terlanjur asik menjalin angan dan mimpi. Tapi tidak ada orang setelah kau menengok kebelakang, tapi ada bisik dan hujan kali ini mendadak menjadi hangat. Kau tersenyum, dan kau pikir dia adalah seorang malaikat yang menjelma hujan, atau doa darinya. Dari seseorang yang selalu mengirim doa pada hujan untuk selalu menjagamu. Kau jadi teringat padanya, padahal hanya beberapa kali saja kau bertemu dengannya dan bertegur sapa. Mungkin baru dua kali saja. Dia selalu memangilmu martabak, Karena kau sangat menyukai martabak manis keju.
Kemudian kau sudahi permainan ini. Kau masuk diam-diam agar tidak ada yang tahu akan kejadian barusan. Lalu kau masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Mendadak kau agak ragu, apakah harus menghilangkan rasa hangat yang tadi menempel pada tubuh atau tidak. Kemudian kau berjalan ke depan kaca di dalam kamar mandi itu. Kau melihat dirimu sendiri, ada senyum lebar yang tidak bisa kamu kendalikan.
Kemudian kau memilih untuk membersihkan tubuhmu, tapi kenangan tadi kau ingat terus. Setelah mandi, kau tidak langsung ke kamar, atau menyeduh teh hangat atau cokelat panas di dapur. Kau memilih sesaat di kamar mandi. Bercerita sedikit pada sudut kamar mandi yang sering kau ajak bicara sejak kecil. Dia sangat pandai menjaga rahasia sehingga, kau sangat mempercayainya.
Kau berpikir akan menceritakannya juga pada dinding kamar yang sama setianya mendengar setiap ceritamu dan menjaganya dengan hebat. Setelah kau masukan baju kotormu ke mesin cuci, kau langsung pergi ke kamar, menganti pakaian dan mencoba melihat apakah senyum itu masih ada di bibir itu. Sebelum kau menceritakan pada dinding kamar, kau teringat kembali kejadian barusan. Kau pikir jika kehangatan barusan adalah pangeran yang menjelma hujan. Hangat, sangat hangat. Agak mustahil memang hujan menjadi hangat, belum lagi ditambah angin yang datang, tidak terlalu kencan memang, tapi setidaknya itu bisa membuat tubuh menjadi gigil.
"Besok apakah dia akan datang lagi?" Bisikmu, sementara di balik jendela hujan telah menjelma gerimis tipis.
Comments
Post a Comment