;tidak lucu jika kau mati sekarang.
Mengalirlah hujan yang menetas dari langit, senja hilang sudah. Bising kendaraan tertelan derasnya tetes air juga petir yang menyambar sejak tadi. Seorang anak kedinginan di luar sana, telat pulang dari mengamen di perempatan jalan pemuda. Ada yang terasa hilang dari sana, sepertinya separuh bayanganmu yang biasanya hadir sebagai wujud kerinduanku.
Untuk apa hidup jika kau tidak ada? Ucapku. Rasa gigil semakin membuat ngilu saja. Aku jadi teringat saat dalam pelukmu dulu, begitu hangat.
Seringkali aku benci menjadi seorang melankolis, harus memperbesarkan sebuah masalah rasa. Seperti ini, putus hubungan percintaan dengan kamu. Sebenarnya hanya sepele saja, tidak ada gengaman seperti dulu lagi, tidak ada tatapan dalam yang sudah menjadi kebiasaan kita, juga pesan-pesan pendek yang kita tukar sesaat malam menghilang, dan pagi menjelang.
Tapi tidak seperti ini juga. Kamu membuat aku khawatir.
Bukannya ini karena kau, dan kini kau kawatir. Entah mengapa ini menjadi sesuatu yang lucu.
Lalu kamu ingin apa??
Sudahlah, aku sudah malas dengan semua ini.
Teringat kembali beberapa kisah denganmu dahulu. Sebuah kereta yang melaju kencang, dan tangan kita mengengam. Sebuah taman dan kau tertidur di bahu si lemah ini. Kembang api yang ujungnya menjadi pertengkaran kita juga. Pada akhirnya ingatan terhenti pada sebuah danau dan senja baru akan turun. Ada tukang pijat yang sesekali menganggu sambil menanyakan apakah aku lelah dan ingin ia pijat. Memang lelah juga, sehabis mengelilingi beberapa musium, juga akuarium dan kandang kupu-kupu.
Comments
Post a Comment