Kita
akan bertemu. Membahas perasaan yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang
selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini?
Di tempat
makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak
seksi dengan kemacetan jam pulang, pejalan kaki yang lalu lalang sehabis turun
dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang
badut kesepian dengan kostum winnie the pooh. Semantara di langit, matahari
melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih
kuliah. Aku menunggumu di sini sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh
tarik yang rasanya hambar.
Aku
menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu
keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih
terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin.
Tangan dan kakiku pun ikut dingin.
“Sudah
sampai mana?”
“Di
jalan kak. Kakak nunggu di mana?”
“Di
lantai dua ya. Nga usah buru-buru juga ya.”
“Oke.”
Waktu
terasa begitu lambat berjalan. Sangat lambat hingga serasa menyayat. Apalagi
yang kukerjakan hanya menegok ke arah terbenamnya matahari, sambil seringkali
melihat telepon gengam, memastikan tidak ada satu pesanmu yang terlambat
kubalas. Lambat begitu lambat.
Senja
sudah mulai meredup, kau belum datang. Pengunjung sudah bergantian, begitu juga
semerawut jalanan yang entah kapan terurai. Walau tak semerawut ingatan yang
tumpang tindih dengan keinginan dan kenyataan. Aku ingin mendapatkanmu, tapi
kenyataannya tak bisa. Di tempat ini terdengar lagu A Man who can`t be moved. Mendadak ada yang terasa hancur.
Kau
datang dengan suara sepatu yang menaiki tangga kayu. Ada seperti getaran yang
membuatku bisa membedakan langkahmu dengan langkah kaki orang lain menaiki
tangga. Dan sebelum wajahmu tampak aku sudah menoleh ke arah tangga lebih
dahulu. Kau muncul, wajah sedikit pucat dengan senyum yang kurindu.
“Sudah
lama kak?”
“Tidak
juga.”
Aku
tersenyum menjawabnya. Mungkin sudah terhitung dua jam semenjak teh tarik
hambar ini datang ke meja. Dua jam berarti 120 menit, yang berarti 7200 detik.
Dua jam sama juga dengan waktu tempuh dari rawamangun ke bekasi di waktu sibuk.
Sama dengan waktu yang dihabiskan seseorang untuk membaca satu buah buku puisi,
atau enam buah cerpen, atau dua bab sebuah novel. Dua jam tersebut pun belum
dikalikan dengan perasaan waktu yang terasa begitu lambat. Tapi itu mendadak
hilang ketika melihat senyum dan sepasang pipi tirusmu.
Kau
duduk di depanku. Di seberang meja ini ada seseorang yang sejak lama ingin
kudapatkan. Tidak hanya raga, tapi jiwa juga impian dan masa depan yang selalu
kuanggap indah. Aku pun berangan jika kelak kita telah tua. Kita menjadi
sepasang kekasih berambut perak yang mengoda semesta di sebuah senja dengan
hal-hal yang sederhana; saling beradu pandang, memainkan jemari, dan
membicarakan tentang tetangga yang tidak ada habisnya mengingatkan jika tak
lagi muda. Bukankah semesta akan iri memandang kita jika seandainya angan itu
jadi nyata?
“Kamu
mau pesan apa?”
“Adanya
apa?”
Angin
berhembus perlahan, seolah tidak ingin menganggu. Udara menjadi dingin dan kau
mengunakan pakaian yang sedikit tipis. Kusarankan kau memesan sesuatu yang
hangat. Makanan atau minuman yang bisa menghangatkanmu dari udara dan cuaca.
Kau mengangguk dan memesan roti bakar. Kau memintanya harus hangat dengan nada
yang ramah. Seperti anak kecil yang memesan permen kapasnya harus manis dan
besar. Kau begitu manis.
“Bagaimana
kabar jerapahmu?”
Kau
mengelengkan kepala. Jerapah yang kumaksud ialah mantan pacarmu yang pertama.
Kau menganggapnya ia seekor jerapah. Aku pun begitu. Mungkin sifat cueknya dan
dingin wajahnya mengambarkan seekor binatang tertinggi di dunia tersebut. Di
suatu pagi di bulan oktober, kalian mengikatkan diri pada hubungan. Ketika itu
aku baru saja terbangun, dan melihat sebuah kabar di sebuah sosial media dengan
tampilan birunya.
“Padahal
dia sabar loh.”
“Iya
kak, dia sabar banget. Akunya saja yang sering sekali bikin masalah. Tapi dia
bisa meredam semuanya.” Kau terkikik menceritakannya.
“Bahkan
ketika aku menarik tanganmu. Mengajakmu makan es krim di depannya. Kauingat
itu?”
“Aku
ingat.” Kau tertawa
Ada
semacam sihir di tawa dan senyummu dan karena itulah aku selalu jatuh hati
padamu dari dulu hingga detik ini. jantung yang berdetak lebih cepat, tanpa
sadar sudah tiga detik aku menatapmu tanpa berkedip. Menatap dengan dalam, menatap
dengan pengharapan seolah ingin mengatakan; jika orang inilah yang
menginginkanmu sejak lama, ya mencintaimu sejak semula.
“Bagaimana
denganmu kak?”
Aku
tersadar dan mengatakan semua berjalan baik-baik saja dan masih tetap sama.
Bumi masih berputar, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat,
matahari masih ada di atas dan tanah masih kuinjak. Segalanya baik-baik saja,
dan masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu pun hati ini, masih sama saja
seperti dulu, mengharapkanmu tanpa tepi.
“Kau masih
mengharapkannya kembali?”
Comments
Post a Comment