Malam musim hujan di bulan Desember, Watip meminta saya ke kontrakan,
dia ingin memberikan kepada saya Museum Hujan, buku kumpulan puisinya
yang baru lahir. Suatu kehormatan buat saya karena menjadi salah satu
dari sedikit orang yang menerima buku puisi tersebut langsung dari
penulisnya. Sekaligus suatu kegembiraan karena mungkin telah lahir
generasi kedua penyair Bengkel Sastra UNJ pasca Ferdi Firdaus.
Anjaaaass.
Sepintas membayangkan Museum Hujan, terbesit dalam kepala saya tentang bangunan tua, meski begitu senyap, di dalamnya penuh dengan hiruk pikuk kejayaan masa lalu. Watip menuliskan lalu menyajikannya pada diorama-diorama
,
tentang hujan dan kenangan yang telah purba. Dilihat orang, diraba,
dinikmati, membosankan, lalu ditinggalkan dan dilupakan begitu saja.
Meski demikian, di sana puisinya tetap suci dan abadi sebagai artefak
yang menyimpan segala kenangan.
Menerima buku puisi buat saya seperti menerima kitab suci, hanya saja Watip di luar 25 nabi yang wajib diketahui. Anggapan itu gak berlebihan, karena menurut Ignas Kleden, puisi dibuat dengan dua alasan; puisi merupakan permenungan penulisnya yang direalisasikan menjadi sebuah karya puitis, untuk mencapai kepuasan setelah memberikan isi dan makna pada barisan kata-kata. Dan puisi merupakan medium penyampaian pesan, penyampaian tujuan, mengingat penyair tidak hanya menggunakan kata-kata dan bahasa, tapi juga mengolah, menggarap, dan menciptakan sebuah pesan.
Membaca Museum Hujan seperti mendengar omongan yang begitu saja keluar secara spontan. Berusaha menjauhkan diri dari diksi yang sulit dipahami, yang pada akhirnya terlepas dari belenggu batasan apa yang dianggap sastra dan bukan sastra, dan malah bermain-main dalam lahan pilihan diksi yang remeh-temeh. Tenang aja Tip, mengutip kata Seno Gumira Ajidarma, sastra dan bukan sastra sifatnya politis, sulit diidentifikasi, dan tidak berpengaruh pada kepenyairan seseorang. Ini saya kutip salah satu puisi yang saya suka:
hujan hujan hujan
berhentilah pada hitungan ketiga
jalanan jadi sungai, sungai jadi laut
anak-anak jadi katak, orang tua jadi susah
pejabat jadi pindah, dan kau jadi musuh (Mantra Penghenti Hujan)
Dalam puisi itu, tentu unsur leksikal yang sederhana telah dipilah-pilah oleh penyair Watip dan dipertimbangkan demi mencapai estetika puisi itu sendiri. Pertimbangan pemilihan diksi pun mesti mempertimbangka n unsur-unsur yang lain, seperti halnya pertimbangan fonologis, untuk mencapai kepentingan irama dan efek bunyi tertentu.
Puisi Mantra Penghenti Hujan, walau mengingatkan saya pada Tardji sang Presiden, telah memenuhi dirinya sebagai sebuah mantra yang enak dirapal. Unsur leksikal yang sangat sederhana ini membentuk paradigmatik yang sekaligus meruntuhkan anggapan; Watip penyair “spesialis kenangan di saat hujan turun”. hahaha. Diksi dalam Mantra Penghenti Hujan menjelaskan tentang makna bahwa hujan tidak selamanya menciptakan kelebatan kenangan. Hujan juga bisa menjadi musuh ketika dia berubah menjadi banjir besar misalnya. Hihihi.
Tapi lama-kelamaan membaca puisi yang lain di Museum Hujan kok seperti membaca Sapardi. Coba lihat pemakaian berbagai diksi natural yang kerap digunakan Sapardi dalam berbagai sajaknya; kunang-kunang, cahaya, daun, merpati, burung gereja, pantai, dan lainnya. Padahal Tib, pasca digunakannya “Aku Ingin” sebagai puisi modusan anak di film abege Marmut Merah Jambu buatan Raditya Dika, penikmat sastra banyak yang menganggap puisi-puisi Sapardi tidak lebih dari gombalan belaka. Trus ngafa ente masih aje ngumfet di ketiak sapardi dan merasa nyaman di sana. Move on lah!
Tapi gue suka sama puisi-puisi yang justru gak ada hubungannya sama “Museum Hujan” dan hujan-hujanan ala Sapardi, Watibabi banget rasanya, nih:
tiba-tiba kau berteriak
“aku dapat satu” (Menjaring Tuhan)
Sepintas membayangkan Museum Hujan, terbesit dalam kepala saya tentang bangunan tua, meski begitu senyap, di dalamnya penuh dengan hiruk pikuk kejayaan masa lalu. Watip menuliskan lalu menyajikannya pada diorama-diorama
Menerima buku puisi buat saya seperti menerima kitab suci, hanya saja Watip di luar 25 nabi yang wajib diketahui. Anggapan itu gak berlebihan, karena menurut Ignas Kleden, puisi dibuat dengan dua alasan; puisi merupakan permenungan penulisnya yang direalisasikan menjadi sebuah karya puitis, untuk mencapai kepuasan setelah memberikan isi dan makna pada barisan kata-kata. Dan puisi merupakan medium penyampaian pesan, penyampaian tujuan, mengingat penyair tidak hanya menggunakan kata-kata dan bahasa, tapi juga mengolah, menggarap, dan menciptakan sebuah pesan.
Membaca Museum Hujan seperti mendengar omongan yang begitu saja keluar secara spontan. Berusaha menjauhkan diri dari diksi yang sulit dipahami, yang pada akhirnya terlepas dari belenggu batasan apa yang dianggap sastra dan bukan sastra, dan malah bermain-main dalam lahan pilihan diksi yang remeh-temeh. Tenang aja Tip, mengutip kata Seno Gumira Ajidarma, sastra dan bukan sastra sifatnya politis, sulit diidentifikasi,
hujan hujan hujan
berhentilah pada hitungan ketiga
jalanan jadi sungai, sungai jadi laut
anak-anak jadi katak, orang tua jadi susah
pejabat jadi pindah, dan kau jadi musuh (Mantra Penghenti Hujan)
Dalam puisi itu, tentu unsur leksikal yang sederhana telah dipilah-pilah oleh penyair Watip dan dipertimbangkan
Puisi Mantra Penghenti Hujan, walau mengingatkan saya pada Tardji sang Presiden, telah memenuhi dirinya sebagai sebuah mantra yang enak dirapal. Unsur leksikal yang sangat sederhana ini membentuk paradigmatik yang sekaligus meruntuhkan anggapan; Watip penyair “spesialis kenangan di saat hujan turun”. hahaha. Diksi dalam Mantra Penghenti Hujan menjelaskan tentang makna bahwa hujan tidak selamanya menciptakan kelebatan kenangan. Hujan juga bisa menjadi musuh ketika dia berubah menjadi banjir besar misalnya. Hihihi.
Tapi lama-kelamaan membaca puisi yang lain di Museum Hujan kok seperti membaca Sapardi. Coba lihat pemakaian berbagai diksi natural yang kerap digunakan Sapardi dalam berbagai sajaknya; kunang-kunang, cahaya, daun, merpati, burung gereja, pantai, dan lainnya. Padahal Tib, pasca digunakannya “Aku Ingin” sebagai puisi modusan anak di film abege Marmut Merah Jambu buatan Raditya Dika, penikmat sastra banyak yang menganggap puisi-puisi Sapardi tidak lebih dari gombalan belaka. Trus ngafa ente masih aje ngumfet di ketiak sapardi dan merasa nyaman di sana. Move on lah!
Tapi gue suka sama puisi-puisi yang justru gak ada hubungannya sama “Museum Hujan” dan hujan-hujanan ala Sapardi, Watibabi banget rasanya, nih:
tiba-tiba kau berteriak
“aku dapat satu” (Menjaring Tuhan)
Comments
Post a Comment