Skip to main content

Komentar Ahmad Ibo untuk Museum Hujan

Malam musim hujan di bulan Desember, Watip meminta saya ke kontrakan, dia ingin memberikan kepada saya Museum Hujan, buku kumpulan puisinya yang baru lahir. Suatu kehormatan buat saya karena menjadi salah satu dari sedikit orang yang menerima buku puisi tersebut langsung dari penulisnya. Sekaligus suatu kegembiraan karena mungkin telah lahir generasi kedua penyair Bengkel Sastra UNJ pasca Ferdi Firdaus. Anjaaaass.

Sepintas membayangkan Museum Hujan, terbesit dalam kepala saya tentang bangunan tua, meski begitu senyap, di dalamnya penuh dengan hiruk pikuk kejayaan masa lalu. Watip menuliskan lalu menyajikannya pada diorama-diorama
, tentang hujan dan kenangan yang telah purba. Dilihat orang, diraba, dinikmati, membosankan, lalu ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Meski demikian, di sana puisinya tetap suci dan abadi sebagai artefak yang menyimpan segala kenangan.

Menerima buku puisi buat saya seperti menerima kitab suci, hanya saja Watip di luar 25 nabi yang wajib diketahui. Anggapan itu gak berlebihan, karena menurut Ignas Kleden, puisi dibuat dengan dua alasan; puisi merupakan permenungan penulisnya yang direalisasikan menjadi sebuah karya puitis, untuk mencapai kepuasan setelah memberikan isi dan makna pada barisan kata-kata. Dan puisi merupakan medium penyampaian pesan, penyampaian tujuan, mengingat penyair tidak hanya menggunakan kata-kata dan bahasa, tapi juga mengolah, menggarap, dan menciptakan sebuah pesan.

Membaca Museum Hujan seperti mendengar omongan yang begitu saja keluar secara spontan. Berusaha menjauhkan diri dari diksi yang sulit dipahami, yang pada akhirnya terlepas dari belenggu batasan apa yang dianggap sastra dan bukan sastra, dan malah bermain-main dalam lahan pilihan diksi yang remeh-temeh. Tenang aja Tip, mengutip kata Seno Gumira Ajidarma, sastra dan bukan sastra sifatnya politis, sulit diidentifikasi, dan tidak berpengaruh pada kepenyairan seseorang. Ini saya kutip salah satu puisi yang saya suka:

hujan hujan hujan
berhentilah pada hitungan ketiga
jalanan jadi sungai, sungai jadi laut
anak-anak jadi katak, orang tua jadi susah
pejabat jadi pindah, dan kau jadi musuh (Mantra Penghenti Hujan)

Dalam puisi itu, tentu unsur leksikal yang sederhana telah dipilah-pilah oleh penyair Watip dan dipertimbangkan demi mencapai estetika puisi itu sendiri. Pertimbangan pemilihan diksi pun mesti mempertimbangkan unsur-unsur yang lain, seperti halnya pertimbangan fonologis, untuk mencapai kepentingan irama dan efek bunyi tertentu.

Puisi Mantra Penghenti Hujan, walau mengingatkan saya pada Tardji sang Presiden, telah memenuhi dirinya sebagai sebuah mantra yang enak dirapal. Unsur leksikal yang sangat sederhana ini membentuk paradigmatik yang sekaligus meruntuhkan anggapan; Watip penyair “spesialis kenangan di saat hujan turun”. hahaha. Diksi dalam Mantra Penghenti Hujan menjelaskan tentang makna bahwa hujan tidak selamanya menciptakan kelebatan kenangan. Hujan juga bisa menjadi musuh ketika dia berubah menjadi banjir besar misalnya. Hihihi.

Tapi lama-kelamaan membaca puisi yang lain di Museum Hujan kok seperti membaca Sapardi. Coba lihat pemakaian berbagai diksi natural yang kerap digunakan Sapardi dalam berbagai sajaknya; kunang-kunang, cahaya, daun, merpati, burung gereja, pantai, dan lainnya. Padahal Tib, pasca digunakannya “Aku Ingin” sebagai puisi modusan anak di film abege Marmut Merah Jambu buatan Raditya Dika, penikmat sastra banyak yang menganggap puisi-puisi Sapardi tidak lebih dari gombalan belaka. Trus ngafa ente masih aje ngumfet di ketiak sapardi dan merasa nyaman di sana. Move on lah!

Tapi gue suka sama puisi-puisi yang justru gak ada hubungannya sama “Museum Hujan” dan hujan-hujanan ala Sapardi, Watibabi banget rasanya, nih:

tiba-tiba kau berteriak
“aku dapat satu” (Menjaring Tuhan)

Comments

Popular posts from this blog

seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti #1

Seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti Kita berbeda bahasa, pada akhirnya akan menikah juga. Sebuah impian yang selama ini aku bayangkan tentang menjadi orang pertama yang mendapat senyum pagi dan juga sapaan  ohayou yang kau ucapkan tercapai juga. Dari dulu yang aku banyangkan hanya bisa bertemu denganmu saja, itu sudah sangat cukup. Tapi kenyataannya kita bisa bersama juga dalam sebuah ikatan yang selalu dijadikan manusia sebagai ritual untuk menjalin cinta. Kita akan menikah nanti. Kita bertemu pertama kali adalah saat pohon sakura diwajibkan untuk mengugurkan kelopak-kelopak bunganya oleh musim yang selalu berganti dan tidak pernah lelah untuk menyambut matahari yang selalu kau kagumi. Kau tahu itu memang harus terjadi, maksudku tentang sakura yang gugur, mungkin juga tentang pertemuan kita dan pernikahan kita nanti memang harus terjadi. Angin berhembus dan menyapu beberapa daun yang sudah jatuh dari ranting dan dan mati di perkarangan rumahmu, dan sore hari

seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti #2

berakhir juga, juga permainan sederhana kita dengan memainkan kaki kita di bawah meja pemanas kita. kau pun berdiri, lalu menyalakan radio. sepertinya kau ingin menyindirku. kau tahu aku tidak bisa berbahasa sepertimu. tapi tak apalah, aku hanya ingin menikmati lantunan musiknya saja sambil melihat matamu yang tidak akan bisa untuk aku munafikan keindahannya. angin kencang mengetuk-ngetuk jendela, seolah mengoda situasi kita yang sedang berdua saja di ruangan ini. kita berkencan tanpa adanya bahasa. kita hanya bermain dengan isyarat. itupun masih agak sulit dimengerti, karena kebudayaan kita berbeda. aku hanya bisa menutup kebodohankku ini. akhirnya kau pun kearahku, mendekatkan wajah kita berdua dan akhirnya bibir kita bertemu, saling mengenalkan dirinya masing-masing. kesunyian masuk tanpa mengetuk pintu, dan tidak ada yang terkejut diantara kita ataupun beberapa hiasan dinding. kau dan aku masih menikmati suatu hal yang selalu dirahasiakan orang tua kita. aku merahasiakan tentang a

Pertemuan

                Kita akan bertemu. Membahas perasaan yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini? Di tempat makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak seksi dengan kemacetan jam pulang, pejalan kaki yang lalu lalang sehabis turun dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang badut kesepian dengan kostum winnie the pooh. Semantara di langit, matahari melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih kuliah. Aku menunggumu di sini sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh tarik yang rasanya hambar.                 Aku menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin. Tangan dan kakiku pun ikut dingin.                 “Sudah sampai mana?”