Skip to main content

Ruangan

I

Menikmati wajahmu pagi ini
Seperti mengecap batang kayu es krim
Atau permen kapas pada karnaval
Di atasnya ada kembang api yang mekar
Berdekecap lalu pudar di detik selanjutnya


II

di sudut ruang, 
antara meja meja dan lemari, 
kau bermanja mesra dengan telepon gengam secara rahasia. 
jemarimu menjelma busa dalam capucino, atau kata dalam puisi

III

Tadi kita berpapas, 
di depan ruang--yang seperti surga karena udaranya lebih dingin daripada di luar-- saling mengalah mengenai siapa yang masuk lebih dahulu dan siapa yang akan menutup pintu. 
Kau tersenyum sambil membagi jika kau yang masuk lebih dahulu lalu akulah yang menutup pintu.

IV

Seharusnya jumat ini kita bertemu, 
bekerja dengan hati sembari berbasa basi 
mengenai cuaca yang tak kunjung ramah, 
beberapa burung gereja yang membuat sarang di sela-sela ventilasi udara, 
atau tentang masa depan yang tampak samar.


April 2014 

Comments

Popular posts from this blog

seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti #1

Seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti Kita berbeda bahasa, pada akhirnya akan menikah juga. Sebuah impian yang selama ini aku bayangkan tentang menjadi orang pertama yang mendapat senyum pagi dan juga sapaan  ohayou yang kau ucapkan tercapai juga. Dari dulu yang aku banyangkan hanya bisa bertemu denganmu saja, itu sudah sangat cukup. Tapi kenyataannya kita bisa bersama juga dalam sebuah ikatan yang selalu dijadikan manusia sebagai ritual untuk menjalin cinta. Kita akan menikah nanti. Kita bertemu pertama kali adalah saat pohon sakura diwajibkan untuk mengugurkan kelopak-kelopak bunganya oleh musim yang selalu berganti dan tidak pernah lelah untuk menyambut matahari yang selalu kau kagumi. Kau tahu itu memang harus terjadi, maksudku tentang sakura yang gugur, mungkin juga tentang pertemuan kita dan pernikahan kita nanti memang harus terjadi. Angin berhembus dan menyapu beberapa daun yang sudah jatuh dari ranting dan dan mati di perkarangan rumahmu, dan sore hari

seandainya saya menikah dengan yoshioka kiyoe nanti #2

berakhir juga, juga permainan sederhana kita dengan memainkan kaki kita di bawah meja pemanas kita. kau pun berdiri, lalu menyalakan radio. sepertinya kau ingin menyindirku. kau tahu aku tidak bisa berbahasa sepertimu. tapi tak apalah, aku hanya ingin menikmati lantunan musiknya saja sambil melihat matamu yang tidak akan bisa untuk aku munafikan keindahannya. angin kencang mengetuk-ngetuk jendela, seolah mengoda situasi kita yang sedang berdua saja di ruangan ini. kita berkencan tanpa adanya bahasa. kita hanya bermain dengan isyarat. itupun masih agak sulit dimengerti, karena kebudayaan kita berbeda. aku hanya bisa menutup kebodohankku ini. akhirnya kau pun kearahku, mendekatkan wajah kita berdua dan akhirnya bibir kita bertemu, saling mengenalkan dirinya masing-masing. kesunyian masuk tanpa mengetuk pintu, dan tidak ada yang terkejut diantara kita ataupun beberapa hiasan dinding. kau dan aku masih menikmati suatu hal yang selalu dirahasiakan orang tua kita. aku merahasiakan tentang a

Pertemuan

                Kita akan bertemu. Membahas perasaan yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini? Di tempat makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak seksi dengan kemacetan jam pulang, pejalan kaki yang lalu lalang sehabis turun dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang badut kesepian dengan kostum winnie the pooh. Semantara di langit, matahari melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih kuliah. Aku menunggumu di sini sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh tarik yang rasanya hambar.                 Aku menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin. Tangan dan kakiku pun ikut dingin.                 “Sudah sampai mana?”